Pict by, Pixabay.com |
Ada sejumlah paradigma dalam teori organisasi. Antara lain, paradigma klasik, paradigma transisional, dan paradigma kritis (J Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, 2015). Paradigma klasik, atau biasa disebut teori organisasi klasik, umum disebut sebagai perspektif yang mekanistik. Bahkan, sebagian kalangan menyebut teori organisasi klasik sebagai teori mesin. Karena dalam memandang organisasi, paradigma klasik menganalogikan dengan sebuah mesin yang memiliki komponen-komponen detail.
Patut digarisbawahi pula bahwa yang dimaksud sebagai organisasi dalam konteks artikel ini tidak hanya organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial. Namun juga, organisasi, komunitas, institusi, instansi, di bidang bisnis, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Organisasi memiliki struktur dan fungsi. Tiap struktur memiliki fungsi yang sudah dipastikan, sehingga siapapun yang berada pada fungsi tersebut mesti melakukan tugasnya masing-masing. Misalnya, dalam sebuah organisasi, ada yang bertugas sebagai pemimpin, sekretaris, bendahara, penanggungjawab bidang ini, penanggungjawab bidang itu, dan lain sebagainya. Tiap tugas mesti dijalankan sesuai dengan standar dan operasional dan prosuder yang telah ditetapkan.
Penetapan struktur, fungsi, tugas, dan posisi tersebut mengacu pada sistem yang telah dibuat. Oleh karena itu, teori organisasi klasik cenderung melihat sebuah organisasi sebagai sebuah sistem. Pondasi terpenting dalam organisasi adalah sistem, prananta, atau aturan-aturan yang telah dibuat saat organisasi itu mula-mula digagas.
Teori organisasi klasik tidak menitikberatkan pada hal-hal lain, seperti pemimpin, kedekatan psikologis antar elemen dalam organisasi tersebut, dan faktor-faktor di luar sistem itu sendiri. Kesimpulannya, organisasi akan menjadi baik apabila sistem berjalan sebagaimana mestinya.
Orang-orang dalam sebuah organisasi cukup fokus untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Tidak perlu mengurusi orang dalam struktur, fungsi, atau tugas lain dalam organisasi tersebut. Sebagai contoh, dalam sebuah pabrik rokok, mereka yang bekerja di bagian pelintingan rokok tidak perlu memikirkan apa yang dikerjakan di bagian pemasaran. Begitu pula sebaliknya. Masing-masing bertanggungjawab untuk menyelesaikan pekerjaan, dengan pantauan dari supervisor yang memang sejak awal memiliki tugas mengawasi.
Terdapat sejumlah teori yang populer dalam paradigma klasik ini dan kerap dijadikan rujukan berbagai kajian (Sitepu, Y. S., Paradigma dalam Teori Organisasi dan Implikasinya pada Komunikasi Organisasi, 2011). Di antaranya, Teori Manajemen Saintifik dari Frederick Taylor. Fokus teori ini adalah desain proses kerja. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya mengacu pada efisiensi kerja, struktur organisasional dan proses.
Artinya, Taylor meyakini bahwa manajemen dan sistem mesti dikelola berdasarkan data-data ilmiah atau kajian saintifik (Hasiholan, L. B, Teori Organisasi Suatu Tinjauan Perspektif Sejarah, 2012). Pertimbangan saat menentukan beban kerja, jenis pekerjaan, rekrutmen pekerjaan, supervisor atau penanggungjawab pekerjaan, hingga intensif atau bonus bagi pekerja, mesti bertolak dari data-data saintifik.
Ada pula Teori Manajemen Umum Henri Fayol yang fokus pada prinsip dasar organisasi dan praktik manajemen (Henri Fayol, General and industrial management, 2016). Fayol membagi ada empat belas elemen penting dalam sebuah organisasi. Empat belas poin ini bisa dieksplorasi dari berbagai perspektif, yang intinya, apabila empat belas poin ini dalam kondisi ideal, organisasi akan berjalan dengan optimal. Empat belas poin itu adalah, divisi kerja yang jelas, otoritas/tanggungjawab, disiplin, kesatuan perintah, kesatuan arahan, menomorduakan kepentingan individu, dan pemberian upah yang proporsional. Selain itu, pembuatan keputusan yang tersentralisasi, adanya rantai skalar/kejelasan hirearkis, keteraturan, keadilan, stabilitas dalam kedudukan, inisiatif, dan esprit de corps/kesetiaan dan saling menghormati.
Teori organisasi klasik yang juga terkenal adalah teori birokrasi yang dipopulerkan Max Weber. Weber berasumsi bahwa sistem formal yang memiliki prananta jelas dan resmi adalah birokrasi ideal (Max Weber, From Max Weber: essays in sociology, 2009). Terdapat enam ciri dasar birokrasi, yakni, sistem hierarki otoritas yang jelas, divisi kerja berdasarkan spesialisasi, sistem aturan yang lengkap mencakup hak, tanggungjawab, dan kewajiban personil, prosedur yang sempurna untuk performa kerja, impersonalitas dalam hubungan organisasional manusiawi, serta seleksi dan promosi personil atas dasar kompetensi teknikal.
Tiga teori yang disampaikan di atas punya konsentrasi untuk mendiskusikan betapa pentingnya sistem, manajemen, dan prananta pada sebuah organisasi. Sistem yang baik dan disepakati bersama merupakan hal yang paling fundamental dalam keberlangsungan sebuah organisasi (*).
Penulis: Rio Febriannur Rachman, M.Med.Kom
Editor: Devisi Keilmuan
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon