“Kak, sudah
sampai nih” Suara halus Abbas sembari menggoyangkan tubuh ini. Aku diam menatap
luar mobil yang dipenuhi lalu Lalang santri yang bermukenah serba putih,
tebakanku mereka baru turun sholat jamaah shubuh
“Ibu mana dek?”
“Turun dulu barusan, sholat shubuh sama ayah, kakak suruh sholat sama Abbas di sana” Abbas menunjuk mushollah kecil dekat pesantren, aku hanya menurut dan mengekor dibelakangnya. Usai sholat berjamaah dengan Abbas, aku diam berdebat dengan pikiranku sendiri harus berapa lama berdiam dan belajar di Gedung megah nan indah ini, aku masih sibuk memandang sekitar pesantren mencari suasana nyaman yang akan bersahabat denganku nanti, entahlah.. tiba-tiba aku ingin pulang
Matahari mulai naik mengucapkan selamat datang kepada keluargaku yang baru menginjak tanah Jawa Tengah, mengantarkan aku dan ibu ke Ndalem ibu nyai, sedang Abbas dan ayah lewat pintu depan (ruang tamu putra). Sesampai di ndalem beliau, bu nyai ngendikan
“Apa tidak lanjut S2 saja nduk?”
tanya beliau
“Insya Allah boten Nyai” jawabku
menunduk sebab segan memandang wajahnya yang teduh penuh wibawa. Pertanyaan
selanjutnya menurutku tidak begitu berkesan, hanya perihal umur dan pendidikan
terakhirku.
***
Aku satu kamar dengan para santri salaf yang hafalan Al-Quran, mayoritas mereka adik tingkatku sehingga tidak banyak bercanda seperti di pesantren sebelumnya, aku mulai merasakan ketidak nyamanan sedangkan ayah bilang tidak akan mengunjungiku sampai waktunya pulang dan sayangnya aku mengiyakan.
Dua minggu berlalu. Aku sudah mulai terbiasa dengan kegiatannya, waktu senggang aku manfaatkan untuk menghafal di mushollah dekat ndalem sebab usai jamaah shubuh aku tidak memiliki kegiatan tetap sebagaimana teman-teman penghafal lainnya, aku hanya nderes Al-Quran yang pernah aku setorkan tahun-tahun lalu, tiba-tiba
“Mbak..” Suara yang pernah aku
dengar, aku spontan menoleh dan ternyata ibu nyai seperti gopoh dan memerlukan
bantuan
“Injeh”
“Buatkan teh untuk tamu, mbak-mbak ndalem masih ke pasar” ngendikonya penuh kelembutan dan saya
tidak akan pernah menolak perintahnya
“Injeh” jawabku yang masih menunduk
dan duduk dihadapannya. Setelah beliau kundur, aku bergegas mengambil beberapa cangkir dan memenuhi perintah beliau.
Ndalem ibu nyai sudah biasa di datangi tamu pagi hari, sehingga mbak-mbak ndalem harus pergi ke pasar
dini hari usai sholat shubuh digelar, sedangkan tamu beliau mulai berdatangan.
Setelah memenuhi perintah beliau, aku kembali mengaji di mushollah tadi, agak
memojok takut menganggu percakapan tamu dan bu nyai yang berada di ndalem.
“Mbak Alya, di bersihkan diruang
tamu barusan itu ya” perintahnya lagi
“Injeh”
Bu nyai memanggil lagi, terbesit
dalam fikiranku ‘belumkah datang mbak-mbak ndalem, sehingga bu nyai harus repot
sendiri’. Aku bereskan seluruh ndalem nyai, aku masih bingung harus meletakkan
barang-barang yang tidak pada tempatnya karena belum pernah membersihkan ndalem
beliau sebelumnya dan sekarang aku mengerjakan sendiri tanpa panduan yang lebih
tau, aku putuskan hanya menyapu dan membersihkan teh yang sedikit tumpah di
karpet ala timur tengah itu.
Perkenalkan, Bu nyai Nafi’ah seorang
hafidzoh yang hafalannya lebih dari luar kepala, putra-putrinya di ajari
menghafal sejak kecil sehingga terbiasa dengan ayat-ayat Al-Quran, sedangkan
alumninya banyak yang dikirm ke luar negeri untuk Syiar dengan Al-Quran,
menurut informasi yang aku dapat 40% di Yaman, 20% di Turki dan 10% di Madinah.
“Mbak Alya, di kamarmu itu usiamu
paling tua, hafalan dan ngajimu sudah bagus. Dan besok pendaftaran S2 sudah
dibuka. Kamu daftar saja tidak perlu khawatir masalah biaya” Titah beliau
membuat aku ingin menangis untuk menolak tapi tak sanggup
“Injeh Nyai” jawabku menggigit bibir
menahan tangis yang hampir tumpah, tidak mungkin aku menolak satu perintahnya
pun, sebab beliau lebih tahu yang baik untukku, hanya saja aku belum siap untuk
menjalaninya.
Aku bergeming, berdebat dengan
hatiku. Aku akan diberatkan oleh dua hal, harus lancar Al-Quran dan tugas-tugas
kuliah S2 yang akan datang, bukankah hal itu sulit bagi orang yang jiwanya sama
sepertiku, jiwa pemalas dan tak mau tau. Hal yang paling sulit adalah aku tak
memiliki seorang sahabat satupun, teman kamarku lebih muda usianya dariku. Aku
harus bercerita kepada siapa? Melepas rasa gundah gelisah dengan siapa?. Hatiku
mulai berkecamuk tak tenang, aku mulai diambang kebosanan, ketidak nyamanan,
tidak betah, ingin menangis tapi terlalu angkuh pada diri sendiri yang sudah
tidak seharusnya menangis hanya karena bingung dengan pilihan. Menelefon orang
tua bukanlah hal yang tepat, aku sudah seharusnya mengambil keputusan sendiri
untuk hidupku sendiri. Aku bukanlah anak Tsanawiyah seperti 10 tahun yang lalu,
saat semua perasaan tidak nyaman diadukan pada ayah dan dicerahkan dengan
nasihatnya. Aku hanya butuh teman bercerita, teman curhat yang sefrekuensi
denganku.
“Baits” ucapku lirih, aku ingat pada
Baits, semoga dia tidak lupa, aku butuh Baits sebagai teman ceritaku dan
pemberi sejuta motivasinya secara cuma-cuma, sebab sejuta akalnya mampu memecahkan
milyaran masalah. aku yakin ini bukan rindu, aku hanya butuh solusinya.
Bersambung....
Lanjut Rabu depan yaa Sobat..
Penulis : InayahAlf
Editor : Divisi Keilmuan
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon