Siang itu, teriknya
menyengat membuat tanah-tanah tandus, daun-daun mengering dan air laut menguap,
ditambah lagi kebisingan yang membanjiri halaman gedung megah yang baru
dibangun, para bapak-bapak, ibu-ibu bahkan ada ratusan kakek nenek dan anak
usia dini yang menghadiri acara wisuda sarjanaku. Hari ini adalah hari
bahagiaku setelah begitu pusing memikirkan laporan skripsi beberapa bulan yang
lalu.
Hari ini, namaku telah resmi bergelar, Aliyah Syaifana Hisyam, S.Ag, jurusan tafsir
Hadits adalah tuntutan saat awal masuk kuliah, alasan ayahku karena ayah tidak
menyelesaikan studi ibuku di jurusan tafsir Hadits S2-nya karena ekonomi ayah
saat itu sangat krisis sebab bencana alam melanda desanya, sedang ibuku hanya
menyepakati keputusan ayah.
Gedung megah itu disesaki oleh ratusan keluarga besar
termasuk keluargaku, sayangnya aku masih single belum memiliki pasangan seperti
60% teman-temanku yang sudah bersuami bahkan memiliki anak, ini adalah salah
satu janjiku pada ayah bahwa tak akan bermain cinta sebelum hari ini tiba.
***
Sore itu, pemungkas acara adalah foto bersama keluarga,
satu per-satu keluargaku mulai memasuki mobil yang dikemudi langsung oleh
ayahku ‘pembalap idolaku’.
“Mau lanjut kuliah S2 atau nikah nih Al?” tanya tanteku
membuyarkan keheningan di mobil
“Enaknya gimana te, nikah aja kali ya?” jawabku sambil
terkekeh
“Serius Al?” Tiba-tiba ayah menyela percakapanku dengan
pandangan tetap fokus membelah jalan yang mulai macet
“Ngga lah yah, tante aja bercandanya keterlaluan”
jawabanku membuat se-isi mobil menertawaiku, tertawa seperti meledekku. Ahh....
entah, perbincangan ini mulai mengarah pada ketidak nyamanan.
Rencanaku sendiri adalah tabarrukan di Pondok Pesantren
Jawa Tengah, tapi belum aku bicarakan pada ayahku. Di rumah, aku tak menganggur,
kegiatan sehari-hariku ikut ayah mengajar di Pesantren dekat rumah, santrinya
masih ratusan belum mencapai ribuan dan aku rasa bahagiaku berada di sana.
Esok harinya, sarapan digelar, semua menu makanan sudah
siap disantap di meja makan, saatnya aku utarakan keinginanku, aku belum
istikhoroh tapi aku mantap akan niatku
“Ayah, boleh ngga minggu depan anterin Alya ke Pesantren
Jawa Tengah untuk tabarrukan, Alya kangen suasana nyantri seperti Tsanawiyah
dan Aliyah dulu. Hehehe” pintaku layaknya bocah 9 tahun minta mainan
“Boleh, besok pun ayah akan antar” jawab ayah sigap,
perasaanku lega dengan jawaban seorang Hero yang tidak akan ada penggantinya
sampai nanti, kalaupun bersuami, aku ingin suamiku seperti ayah.
Usiaku menginjak 22 tahun April lalu, 6 tahun sebelum
kuliah aku habiskan di Pesantren, mengukir sejarah di desa orang bersama ribuan
santri yang seluruhnya tidak mampu aku kenali, lalu aku lanjutkan kuliah di
Universitas pilihan ayah begitupun dengan jurusannya, hingga selesai sudah menyandang
gelar sarjana.
***
Hari ini, jadwal keberangkatan ke Pesantren, ibuku sibuk
di dapur menyiapkan makanan favorit adikku, yang berapa menit lagi akan pulang
dari sekolahnya
“Sibuk banget sih ibuku” sapaku dengan membantu mengupas
bawang putih yang sudah disediakan
“Adikmu bentar lagi pulang, supaya makan lalu mandi, satu
jam dari itu dia harus berangkat ngaji. Kegiatanmu dibanding adikmu masih lebih
padat dia” jelas ibu yang memang sangat sayang pada si bungsu. Aku sudah biasa
dengan perbandingan antara aku dan adikku, dulu memang hatiku sakit saat ada perbandingan antara aku dan adikku,
tetapi sekarang hal itu sudah biasa, mungkin karena aku sudah dewasa.
Perkenalkan adikku bernama Abbas Maulana Hisyam, ia
pangeran dalam keluargaku sebab keluargaku mengidam-idamkan anak lelaki hingga
keluarlah si bungsu. Setelah kelahirannya, banyak hal buruk yang menghantuiku,
yakinku ibu dan ayahku tak akan memperlakukanku seperti tahun-tahun lalu.
Kenyataannya iya, ibuku berlaku beda tapi tidak pada ayah, ayahku tetap memperlakukanku
seperti bidadari kecilnya dulu, tak pelak jika aku lebih menyayanginya.
***
“Kak, jangan lama-lama di Pesantren, apa ngga kepikiran
nikah gitu, usia udah kepala 2 nih?” ibuku memulai obrolan saat keberangkatan
ke Pesantren
“Nikah sama siapa toh bu, ayah kan dari dulu ngga suka
kakak berteman sama laki-laki?”
“Lah.. temanmu anak Tafsir Al-Quran kemarin itu, siapa
namanya ibu lupa?’ selidiknya
“Baits?” tanyaku menemukan jawaban
“Iyaaa.. Baits, akhlaknya bagus tuh kak” dukung ibu. Aku
tersenyum mendengarkan komentar tentang lelaki yang bernama Baits ini, bukan
tidak terima, akhlaknya memang bagus tapi aku lebih mengenalnya dan aku lupa
akan akhlaknya, akhlak yang kata ibu bagus.
Baits, nama yang
baru disinggung, ia adalah teman dekatku, teman diskusi masalah laporan
skripsi, masalah organisasi dan saling tukar cerita yang tidak penting juga,
tapi aku sama sekali tidak memilki rasa atau belum memiliki rasa, aku belum
jatuh cinta padanya walaupun akhlak dan ketampanannya dipuji oleh jutaan
manusia, sayangnya aku tak pernah goyah meskipun aku mengakui kecerdasannya,
tampannya, taqwa pada tuhannya dan perilakunya, dan aku hanya mengakui tidak
mencintai.
Bersambung.....
Lanjut Rabu depan ya Sobat...
Penulis : InayahAlf
Editor : Divisi Keilmuan
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon