3 Maret 2021

author photo

 


Siang itu, teriknya menyengat membuat tanah-tanah tandus, daun-daun mengering dan air laut menguap, ditambah lagi kebisingan yang membanjiri halaman gedung megah yang baru dibangun, para bapak-bapak, ibu-ibu bahkan ada ratusan kakek nenek dan anak usia dini yang menghadiri acara wisuda sarjanaku. Hari ini adalah hari bahagiaku setelah begitu pusing memikirkan laporan skripsi beberapa bulan yang lalu.

Hari ini, namaku telah resmi bergelar,  Aliyah Syaifana Hisyam, S.Ag, jurusan tafsir Hadits adalah tuntutan saat awal masuk kuliah, alasan ayahku karena ayah tidak menyelesaikan studi ibuku di jurusan tafsir Hadits S2-nya karena ekonomi ayah saat itu sangat krisis sebab bencana alam melanda desanya, sedang ibuku hanya menyepakati keputusan ayah.

Gedung megah itu disesaki oleh ratusan keluarga besar termasuk keluargaku, sayangnya aku masih single belum memiliki pasangan seperti 60% teman-temanku yang sudah bersuami bahkan memiliki anak, ini adalah salah satu janjiku pada ayah bahwa tak akan bermain cinta sebelum hari ini tiba.

***

Sore itu, pemungkas acara adalah foto bersama keluarga, satu per-satu keluargaku mulai memasuki mobil yang dikemudi langsung oleh ayahku ‘pembalap idolaku’.

            “Mau lanjut kuliah S2 atau nikah nih Al?” tanya tanteku membuyarkan keheningan di mobil

            “Enaknya gimana te, nikah aja kali ya?” jawabku sambil terkekeh

            “Serius Al?” Tiba-tiba ayah menyela percakapanku dengan pandangan tetap fokus membelah jalan yang mulai macet

            “Ngga lah yah, tante aja bercandanya keterlaluan” jawabanku membuat se-isi mobil menertawaiku, tertawa seperti meledekku. Ahh.... entah, perbincangan ini mulai mengarah pada ketidak nyamanan.

Rencanaku sendiri adalah tabarrukan di Pondok Pesantren Jawa Tengah, tapi belum aku bicarakan pada ayahku. Di rumah, aku tak menganggur, kegiatan sehari-hariku ikut ayah mengajar di Pesantren dekat rumah, santrinya masih ratusan belum mencapai ribuan dan aku rasa bahagiaku berada di sana.

Esok harinya, sarapan digelar, semua menu makanan sudah siap disantap di meja makan, saatnya aku utarakan keinginanku, aku belum istikhoroh tapi aku mantap akan niatku

            “Ayah, boleh ngga minggu depan anterin Alya ke Pesantren Jawa Tengah untuk tabarrukan, Alya kangen suasana nyantri seperti Tsanawiyah dan Aliyah dulu. Hehehe” pintaku layaknya bocah 9 tahun minta mainan

            “Boleh, besok pun ayah akan antar” jawab ayah sigap, perasaanku lega dengan jawaban seorang Hero yang tidak akan ada penggantinya sampai nanti, kalaupun bersuami, aku ingin suamiku seperti ayah.

Usiaku menginjak 22 tahun April lalu, 6 tahun sebelum kuliah aku habiskan di Pesantren, mengukir sejarah di desa orang bersama ribuan santri yang seluruhnya tidak mampu aku kenali, lalu aku lanjutkan kuliah di Universitas pilihan ayah begitupun dengan jurusannya, hingga selesai sudah menyandang gelar sarjana.

***

Hari ini, jadwal keberangkatan ke Pesantren, ibuku sibuk di dapur menyiapkan makanan favorit adikku, yang berapa menit lagi akan pulang dari sekolahnya

            “Sibuk banget sih ibuku” sapaku dengan membantu mengupas bawang putih yang sudah disediakan

            “Adikmu bentar lagi pulang, supaya makan lalu mandi, satu jam dari itu dia harus berangkat ngaji. Kegiatanmu dibanding adikmu masih lebih padat dia” jelas ibu yang memang sangat sayang pada si bungsu. Aku sudah biasa dengan perbandingan antara aku dan adikku, dulu memang hatiku sakit saat  ada perbandingan antara aku dan adikku, tetapi sekarang hal itu sudah biasa, mungkin karena aku sudah dewasa.

Perkenalkan adikku bernama Abbas Maulana Hisyam, ia pangeran dalam keluargaku sebab keluargaku mengidam-idamkan anak lelaki hingga keluarlah si bungsu. Setelah kelahirannya, banyak hal buruk yang menghantuiku, yakinku ibu dan ayahku tak akan memperlakukanku seperti tahun-tahun lalu. Kenyataannya iya, ibuku berlaku beda tapi tidak pada ayah, ayahku tetap memperlakukanku seperti bidadari kecilnya dulu, tak pelak jika aku lebih menyayanginya.

***

            “Kak, jangan lama-lama di Pesantren, apa ngga kepikiran nikah gitu, usia udah kepala 2 nih?” ibuku memulai obrolan saat keberangkatan ke Pesantren

            “Nikah sama siapa toh bu, ayah kan dari dulu ngga suka kakak berteman sama laki-laki?”

            “Lah.. temanmu anak Tafsir Al-Quran kemarin itu, siapa namanya ibu lupa?’ selidiknya

            “Baits?” tanyaku menemukan jawaban

            “Iyaaa.. Baits, akhlaknya bagus tuh kak” dukung ibu. Aku tersenyum mendengarkan komentar tentang lelaki yang bernama Baits ini, bukan tidak terima, akhlaknya memang bagus tapi aku lebih mengenalnya dan aku lupa akan akhlaknya, akhlak yang kata ibu bagus.

Baits, nama yang baru disinggung, ia adalah teman dekatku, teman diskusi masalah laporan skripsi, masalah organisasi dan saling tukar cerita yang tidak penting juga, tapi aku sama sekali tidak memilki rasa atau belum memiliki rasa, aku belum jatuh cinta padanya walaupun akhlak dan ketampanannya dipuji oleh jutaan manusia, sayangnya aku tak pernah goyah meskipun aku mengakui kecerdasannya, tampannya, taqwa pada tuhannya dan perilakunya, dan aku hanya mengakui tidak mencintai.

Bersambung.....

Lanjut Rabu depan ya Sobat...

Penulis : InayahAlf

Editor  : Divisi Keilmuan

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post