Kamis, 03 September 2020
10.43 Pm
“Waalaikumussalam Alya..
Kamu datang tidak membawa keluhan, kamu datang membawa kebahagiaan. Sudah
lama tidak komunikasi denganmu, kabarku tidak baik Al. Aku mengidap penyakit
meningitis, aku sudah lama di rumah sakit sampai hari ini.
Kuliahlah, kamu mampu untuk melanjutkan kuliah S2 asal kamu harus semangat.
Jangan pesimis, ayah ibumu pasti bangga memiliki seorang anak yang sepertimu.
Doakan aku Al, doakan semoga segera diangkat penyakitnya. Aku sering
kesakitan ditengah malam, sehingga tidak mampu melaksanakan sholat tahajjud
seperti dulu, aku menghabiskan waktu hanya diranjang rumah sakit, aku seperti
kehausan perawatan dokter, aku tak bisa pulang dengan pulih. Setiap aku ingin
bangun tubuhku lunglai, mataku buram, hidungku berdarah, kepalaku sakit dan
sepertinya aku tidak mungkin sembuh Al, kecuali di ijabahnya doa-doa orang yang
ikhlas untukku.
Maafkan aku Al, aku yang banyak mengeluh. Sebenarnya aku ingin kamu disini
menemaniku sebentar.
Baits. Salam rindu untukmu Alya
Wassalamualakum”
Aku bahagia melihat gmailku terbalas,
segera aku baca kata demi kata karena kata-katanya akan menghipnotis setiap
pembaca. Tapi ini bukan biasanya, Baits tidak baik-baik saja, Baits sakit
parah. Aku diambang ketidak tenangan, aku ingin pulang menemaninya sejenak
saja, melihat keadaannya sebentar saja tapi tidak mungkin Jawa Tengah – Jawa
Timur tidak dekat. Hanya doa yang dapat aku langitkan bersama nama Baits dengan
harapan kesembuhannya.
Aku tak mampu membalas gmail dari
Baits, aku tidak tega dengan keadaannya yang parah, tapi ada kata yang harus
aku tanyakan pada Baits, kata ‘Rindu’ apakah Baits menyimpan rindu untukku.
Sepertinya aku juga rindu tapi angkuh untuk mengaku, apakah ini cinta atau
hanya perasaan iba dan simpati saja.
Kamis, 03 September 2020
10.55 Pm
“Bersabarlah Baits, ini
ujian untuk orang baik sepertimu. Jangan lemah, semangatlah untuk kesembuhanmu.
Aku akan menemanimu, tapi tidak sekarang sebab kuliah S2 sudah digelar beberapa
hari yang lalu dan aku tidak bisa meninggalkan begitu saja.
Doa untuk kesembuhanmu sudah aku langitkan, kamu tidak perlu khawatir pada
sakitmu, sakitmu akan sembuh. Semangat Baits, kuatlah
Alya, salam rindu juga untukmu Baits”
Aku kirimkan gmail ini dengan berat,
sebab isinya adalah kerinudan juga. Ungkapan rindu yang tidak pernah terungkap
sejak dulu, harapanku adalah senyum Baits merekah merasakan rindunya terbalas.
***
Pagi itu, udaranya dingin sekali
menusuk tulang, udara shubuh tak lagi sejuk tapi membekukan ubun-ubun, hidungku
nyilu tak kuat bernafas banyak, sedangkan kuliahku libur kegiatanku diganti
dengan mengaji kitab kepada Kyai Basith dan teman-teman kamarku setoran
Al-Quran kepada ibu nyai. Udaranya memasuki ruangan, memaksa diri untuk ke
kamar mandi berkali-kali.
“Mbak Alya, ada ibunya di Ndalem bu
nyai” Ujar Rara teman satu kamarku
“Ibu?” tanyaku heran
“Iya, kayaknya mbak Alya dipamitkan
pulang”
“Kamu kok tau?” tanyaku lagi, masih
bingung
“Kan Rara setor di Ndalem bu nyai
Mbak” jawabnya sambil nyelonong meninggalkan langkahku yang terhenti.
Ibu dan ayahku membawaku pulang
tanpa memberi satupun alasan rasional padaku, aku bingung dalam perjalanan,
membuat kesimpulan sendiri dalam pikiranku. Seisi mobil terdiam tanpa
menjelaskan apapun, aku seperti dibawa kabur oleh orang asing. Ada apa
sebenarnya?
Tepat pukul 14.30 siang, mobil ini
terhenti dan ibu menyuruhku turun. ‘ini pasti rest area’ dalam hatiku masih
menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Tapi bukan rest area, loby-nya terbuka
lebar, banyak orang mengantri dan disebelahnya berdiri huruf-huruf besar
tersusun “UGD”. Aku di rumah sakit, tapi siapa yang sakit?
“Baits parah, sudah hampir sebulan
di sini. Kemarin ibu jenguk dia, dia ingin kamu menemui sebentar, maka dari itu
ibu jemput kamu. Ibu tidak bicarakan ini dari tadi karena takut kamu shock”
jelas ibu, padahal aku tahu kondisinya.
Aku hanya terdiam mengiyakan penjelasannya, aku segera mencari ruangan
dimana Baits terbaring. Aku temukan dia dengan selang yang memenuhi tubuhnya
tapi matanya terpejam, dia sendiri di ruang itu, ruangannya disterilkan setiap
satu jam, keluarganya di luar ruangan dengan isak tangis yang aku dengar.
“Boleh saya masuk dok?” tanyaku pada dokter yang baru keluar dari ruangan
Baits
“Boleh, satu orang saja ya” jawab dokter itu halus
Aku memasuki ruangan Baits, air mataku mulai menetes satu per-satu tak tega
melihat seorang periang terbaring diranjang hampir satu bulan.
“Baits, aku Alya.. Aku datang” sapaku dengan suara yang kurang jelas, sebab
tangisku tumpah, Baits tak mendengar suaraku yang parau. Namun tiba-tiba
“Alya, sebelum 22 menit aku dibawa ke rumah sakit, aku sudah resmi menjadi
tunanganmu, sebelum 22 menit aku dibawa ke ruang ini, aku membalas gmailmu dan
sebelum 22 menit terakhirku kamu datang dengan tangis, kenapa menangis Alya?”
suaranya lebih parau dariku, setiap kata yang diucapkan sangat lambat sebab
tubuhnya lemas. Baits tunanganku, aku tidak percaya itu, kenapa tidak ada yang
menceritakan hal ini.
“Ini bukan tangis dan ini bukan 22 menit terakhirmu Baits, aku akan
menemanimu meskipun lama.” Jawabku dengan tangis semakin tumpah
“Aku menyayangimu Alya” kalimat terakhir yang aku dengar, sebab aku keluar
dari ruangan, kondisi Baits semakin memburuk, aku harus panggil dokter
se-segara mungkin. Namun ini tidak sesuai ekspektasi, Baits pergi meninggalkan
aku, keluargaku dan keluarganya, perasaannya diungkapkan 22 menit sebelum
tiadanya. Sedangkan Baits tidak mengetahui perasaanku yang serupa dengan
perasaannya, bahkan gmail dariku yang berisi kerinduan tak sempat ia baca.
Tamat
Penulis : InayahAlf
Editor : Divisi Keilmuan
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon