24 Maret 2021

author photo

 


Kamis, 03 September 2020

10.43 Pm        

“Waalaikumussalam Alya..

Kamu datang tidak membawa keluhan, kamu datang membawa kebahagiaan. Sudah lama tidak komunikasi denganmu, kabarku tidak baik Al. Aku mengidap penyakit meningitis, aku sudah lama di rumah sakit sampai hari ini.

Kuliahlah, kamu mampu untuk melanjutkan kuliah S2 asal kamu harus semangat. Jangan pesimis, ayah ibumu pasti bangga memiliki seorang anak yang sepertimu.

Doakan aku Al, doakan semoga segera diangkat penyakitnya. Aku sering kesakitan ditengah malam, sehingga tidak mampu melaksanakan sholat tahajjud seperti dulu, aku menghabiskan waktu hanya diranjang rumah sakit, aku seperti kehausan perawatan dokter, aku tak bisa pulang dengan pulih. Setiap aku ingin bangun tubuhku lunglai, mataku buram, hidungku berdarah, kepalaku sakit dan sepertinya aku tidak mungkin sembuh Al, kecuali di ijabahnya doa-doa orang yang ikhlas untukku.

Maafkan aku Al, aku yang banyak mengeluh. Sebenarnya aku ingin kamu disini menemaniku sebentar.

Baits. Salam rindu untukmu Alya

Wassalamualakum”

            Aku bahagia melihat gmailku terbalas, segera aku baca kata demi kata karena kata-katanya akan menghipnotis setiap pembaca. Tapi ini bukan biasanya, Baits tidak baik-baik saja, Baits sakit parah. Aku diambang ketidak tenangan, aku ingin pulang menemaninya sejenak saja, melihat keadaannya sebentar saja tapi tidak mungkin Jawa Tengah – Jawa Timur tidak dekat. Hanya doa yang dapat aku langitkan bersama nama Baits dengan harapan kesembuhannya.

            Aku tak mampu membalas gmail dari Baits, aku tidak tega dengan keadaannya yang parah, tapi ada kata yang harus aku tanyakan pada Baits, kata ‘Rindu’ apakah Baits menyimpan rindu untukku. Sepertinya aku juga rindu tapi angkuh untuk mengaku, apakah ini cinta atau hanya perasaan iba dan simpati saja.

Kamis, 03 September 2020

10.55 Pm

            “Bersabarlah Baits, ini ujian untuk orang baik sepertimu. Jangan lemah, semangatlah untuk kesembuhanmu. Aku akan menemanimu, tapi tidak sekarang sebab kuliah S2 sudah digelar beberapa hari yang lalu dan aku tidak bisa meninggalkan begitu saja.

Doa untuk kesembuhanmu sudah aku langitkan, kamu tidak perlu khawatir pada sakitmu, sakitmu akan sembuh. Semangat Baits, kuatlah

Alya, salam rindu juga untukmu Baits”

            Aku kirimkan gmail ini dengan berat, sebab isinya adalah kerinudan juga. Ungkapan rindu yang tidak pernah terungkap sejak dulu, harapanku adalah senyum Baits merekah merasakan rindunya terbalas.

***

            Pagi itu, udaranya dingin sekali menusuk tulang, udara shubuh tak lagi sejuk tapi membekukan ubun-ubun, hidungku nyilu tak kuat bernafas banyak, sedangkan kuliahku libur kegiatanku diganti dengan mengaji kitab kepada Kyai Basith dan teman-teman kamarku setoran Al-Quran kepada ibu nyai. Udaranya memasuki ruangan, memaksa diri untuk ke kamar mandi berkali-kali.

            “Mbak Alya, ada ibunya di Ndalem bu nyai” Ujar Rara teman satu kamarku

            “Ibu?” tanyaku heran

            “Iya, kayaknya mbak Alya dipamitkan pulang”

            “Kamu kok tau?” tanyaku lagi, masih bingung

            “Kan Rara setor di Ndalem bu nyai Mbak” jawabnya sambil nyelonong meninggalkan langkahku yang terhenti.

            Ibu dan ayahku membawaku pulang tanpa memberi satupun alasan rasional padaku, aku bingung dalam perjalanan, membuat kesimpulan sendiri dalam pikiranku. Seisi mobil terdiam tanpa menjelaskan apapun, aku seperti dibawa kabur oleh orang asing. Ada apa sebenarnya?

            Tepat pukul 14.30 siang, mobil ini terhenti dan ibu menyuruhku turun. ‘ini pasti rest area’ dalam hatiku masih menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Tapi bukan rest area, loby-nya terbuka lebar, banyak orang mengantri dan disebelahnya berdiri huruf-huruf besar tersusun “UGD”. Aku di rumah sakit, tapi siapa yang sakit?

            “Baits parah, sudah hampir sebulan di sini. Kemarin ibu jenguk dia, dia ingin kamu menemui sebentar, maka dari itu ibu jemput kamu. Ibu tidak bicarakan ini dari tadi karena takut kamu shock” jelas ibu, padahal aku tahu kondisinya.

Aku hanya terdiam mengiyakan penjelasannya, aku segera mencari ruangan dimana Baits terbaring. Aku temukan dia dengan selang yang memenuhi tubuhnya tapi matanya terpejam, dia sendiri di ruang itu, ruangannya disterilkan setiap satu jam, keluarganya di luar ruangan dengan isak tangis yang aku dengar.

“Boleh saya masuk dok?” tanyaku pada dokter yang baru keluar dari ruangan Baits

“Boleh, satu orang saja ya” jawab dokter itu halus

Aku memasuki ruangan Baits, air mataku mulai menetes satu per-satu tak tega melihat seorang periang terbaring diranjang hampir satu bulan.

“Baits, aku Alya.. Aku datang” sapaku dengan suara yang kurang jelas, sebab tangisku tumpah, Baits tak mendengar suaraku yang parau. Namun tiba-tiba

“Alya, sebelum 22 menit aku dibawa ke rumah sakit, aku sudah resmi menjadi tunanganmu, sebelum 22 menit aku dibawa ke ruang ini, aku membalas gmailmu dan sebelum 22 menit terakhirku kamu datang dengan tangis, kenapa menangis Alya?” suaranya lebih parau dariku, setiap kata yang diucapkan sangat lambat sebab tubuhnya lemas. Baits tunanganku, aku tidak percaya itu, kenapa tidak ada yang menceritakan hal ini.

“Ini bukan tangis dan ini bukan 22 menit terakhirmu Baits, aku akan menemanimu meskipun lama.” Jawabku dengan tangis semakin tumpah

“Aku menyayangimu Alya” kalimat terakhir yang aku dengar, sebab aku keluar dari ruangan, kondisi Baits semakin memburuk, aku harus panggil dokter se-segara mungkin. Namun ini tidak sesuai ekspektasi, Baits pergi meninggalkan aku, keluargaku dan keluarganya, perasaannya diungkapkan 22 menit sebelum tiadanya. Sedangkan Baits tidak mengetahui perasaanku yang serupa dengan perasaannya, bahkan gmail dariku yang berisi kerinduan tak sempat ia baca.

Tamat

Penulis : InayahAlf

Editor : Divisi Keilmuan

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post