25 Maret 2020

author photo
Pict by : Pixabay.com
Terdengar mudah berkata: aku pasti bisa melupakan mu, toh kamu tak pernah memberiku kesempatan untuk mengungkapkan apa yang selama ini selalu kupendam. Sedalam palung lautan sebuah perasaan paling tulus yang selalu bergemuruh dalam hati hingga rasanya ingin sekali ku meluapkan semuanya agar kamu tahu bagaimana selama ini aku menaruh hati padamu.

Sebagaimana kicau burung di pagi hari yang begitu indah didengar, bahkan membuat hati yang kalut menemukan titik ketentraman dalam kenyamanan, kurang lebih seperti itu ketika pagi kutemukan dirimu berjalan menuju masjid pesantren. Entah sihir apa yang kamu bawa saat berjalan sehingga ketika korneaku mulai menangkap bayangmu jantung dan bibir ini mulai tak terkendali. Sesekali ku tundukkan pandangan lantas segera ku fokuskan lagi terhadap objek terbaik yang selalu menghasilkan karya paling baik dalam hidup.

Aku akui aku memang 'munafik' ; Saat teman-teman dan sahabat ku berkata bahwa diam-diam aku menaruh hati padamu dan merasa sangat sangat-sangat  bahagia ketika mereka menggojlokiku denganmu. Namun jauh dari itu ada satu rasa dimana aku tahu bahwa salah satu temanku juga menyukaimu.

Dilema? Mungkin kata itu yang bisa mewakili perasaanku saat ini. Hatiku mulai retak, entah masih bisakah tetap kokoh atau bahkan akan runtuh? Untuk pertama kalinya aku menangisi seorang yang bukan mahromku serta harus menerima takdir bahwa dia juga menaruh perasaan yang sama terhadap temanku.

Rabby... hati ini tak seteguh hati Sayyidah Fatimah Az-Zahra r.a yang sanggup menahan cinta dalam diamnya kepada Ali bin Abi Thalib karena-Mu Ya Rabb. Berulang kali ku coba tabah dan sabar selalu kata tidak ikhlas datang mendahului. Tapi sesering apapun mata terus menangis, sekuat apapun ku menahan luka bernama cinta yang setiap harinya selalu ada siraman virus menyakitkan menyebar dan mengikis semangat hidupku, kenyataannya itulah yang terjadi dalam rangkaian drama panjang hidupku.


Hatiku bergetar pada saat  Nyai Zul membacakan syair dalam kitab ‘Uqudulijain karangan Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi:
Setiap kejadian (petaka) bermula dari pandangan

Seperti kobaran api besar yang juga bersal dari percikan.
Selagi seseorang masih mempunyai mata yang melirik nakal,
Pasti ia berada pada perkara yang mengkhawatirkan.

Betapa banyak pandangan, yang akhirnya hatinya dijerumuskan,
Bagaikan hujaman panah tanpa busur dan tali, namun mematikan.
Memandang memang menyenangkan tapi hati dibuatnya kesakitan,
Buat apa mengejar kesenangan, jika akhirnya menjerumuskan.

Ya Allah... karena pandangan itu awal kejadian tumbuh benih-benih touge  yang semakin hari semakin lebat dan berubah mengakar semakin besar dan kuat bak pohon baobab.  Karena pandangan itu pula aku terjebak dalam lumpur lapindo yang setiap waktu terus melebar hingga pesimis ku temukan jalan keluar. Karena pandangan itu juga aku tenggelam dalam laut mati yang nyaris tak ku temukan secuil harapan sebab hanya ada kehambaran dan asin.

Oh
Kemanakah hilangnya ceria itu
Mungkinkah terbawa mentari kala
Takdir pilu tenggelam dalam sembilu

Jika benar terbawa
Mengapa ceriaku tak kembali seperti dulu
Kala mentari kembali hadir dalam paginya
Mengapa hanya ada sendu

Jika pada akhirnya ada kata rindu
Benarkah masih ada sisa namanya
Atau karena goresan luka
Yang membuat hatiku sulit tertata.

Oleh : Hijri / KPI 4

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post