16 Januari 2020

author photo
Pict by: Pixabay

Pertama kali membuka mata aku menemukan diriku berada di atas meja, tengkurap, sakit sekujur tubuh. Merintih lirih, kemudian seseorang mengunyah gurih gorengan pipih, rupanya tempe. Lantas diambilnya sebuah kertas dari tumpukan dalam kardus, diusap kasar, teremas dan tanpa ampun ia melempar untuk makanan tong sampah. Kudengar samar (sebab telingaku masih sulit mendengar; sakit akibat terlipat-lipat) kertas berminyak mengeluh, mengumpat, menghardik atas kekejaman manusia tolol. Tubuhnya berselimut minyak dan sudah pasti sakit akibat terremas.

Selang beberapa menit, anak kecil membanting buku tulis di sampingku. Ia menghampiri seorang lelaki paruh baya di dekat jendela. "Ayah, belikan aku mobil-mobilan!" Dia merengek terus-terusan. Terjadi keributan besar, cekcok adu mulut, disusul tangisan sang anak. Tak lama, ibu yang kira-kira berumur 45 tahun itu menghampiri anaknya, digendong manja dalam dekapan, setelah meletakkan sebuah buku resep masakan di samping buku tulis (aku dapat meliriknya). Tak lama ibu dan ayah berbicara, nada ibu lembut, selembut caranya meletakkan buku resep tadi. Akhirnya ruangan ini damai.

Damai sejenak, karena selanjutnya terdengar umpatan dari buku tulis.
"Dasar anak dungu, sekenanya saja membanting badanku. Dungu dungu dungu."
"Bersabarlah! Namanya anak kecil." Ungkap buku resep di sampingnya, ia tetap tersenyum.
"Kau milik seorang ibu yang lembut, penuh kasih sayang, dia tak akan menyakitimu." Napasnya tersengal sebentar, akibat berbicara diiringi marah.
"Betul, samian kepenak mbak, kita ini lho yang sakit di unyel-unyel gak karuan. Bapak dan anak sama saja." Tambah kertas buangan dari dalam sampah.

Sepi, mereka berkutat dengan pikiran masing-masing. Mungkin hati lembut dan hati-hati hanya dimiliki wanita. Langit-langit mereka tatap tanpa kedip. Ruangan yang berisi rak buku, sofa, meja, kursi, komputer dan beberapa alat kantor lainnya, menjadi saksi bisu percakapan bisu. Aku yang sedari tadi mematung dengan telinga sakit yang perlahan membaik, bagian demi bagian kata kudengar. Kupikir lebih baik membisu daripada berucap tapi salah.

"Hei pesawat kertas, siapa yang membuatmu? Anak kecil tadi?" Buku tulis membuka suara dari sekian menit hening. Gelagapan pesawat kertas membuka mulut untuk berbicara.
"Emm... iya, dia yang membuatku."
"Pasti kamu bagian dari tubuhku?"
"Betul."
"Dasar dungu, dia pikir aku ini tak ada gunanya? Apa orang tuanya hanya diam tak memberi tahu asal usul diriku?"
"Sudahlah! Dia masih kecil. Bukan salah mereka juga." Lagi-lagi buku resep membela manusia.
"Mereka tak perduli pada pertiwi, meskipun jutaan pohon ditebang tanpa reboisasi. Tapi kita bisa apa? Bukankah kita hanya alat untuk pemuasan dan kebutuhan hidup mereka?"

Kami bertiga, aku si majalah, buku resep, buku tulis, memandang aneh kepada koran yang tertumpuk rapi di samping meja. Rupanya sedari tadi mendengarkan percakapan kita. Kita hanya alat, betul. Mau apalagi?

Terserah saja mereka mau apa, mereka seorang khalifah, pemimpin jagad raya. Keserakahan dan rasa tak pernah puas memang milik manusia. Meski bumi telah dicacah, dirajam, digilis, digunduli, dibakar semua juga akan berdampak pada mereka.
Mau apa kita? Biar saja, aku sebagai alat permainan bagi anak kecil yang telah diselewengkan dari fungsi asal, menurutku sah-sah saja. Namun, bagi orang yang berpikir, tak mungkin melakukan hal itu, sebab tubuh organik sepertiku wajib digunakan sebaik mungkin atau minimal didaur ulang, Mengingat asal muasal kami. Hutan sudah meradang, bahkan terkadang marah, masih saja terimbas usil tangan tak punya adab.

"Aku... aku pasrah, menjadi bungkus kacang, bungkus gorengan, bungkus pecel, apapun. Malah bahkan tak pernah dibaca. Setidaknya aku masih berguna untuk mereka." Tutur koran kemudian.

Oleh: Reni NH/ KPI 3

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post