22 Januari 2020

author photo
Pict By: Pixabay.com

Bulliying, apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata itu? Cibiran seperti itu sudah menjadi makanan saya sehari-hari ketika duduk di bangku SMA. Meski selalu menanggapinya dengan senyum, dalam hati kecil saya selalu bertanya, "Apa salah saya sampai teman-teman melakukan hal itu? Apa berbadan jumbo haram dan dilarang Undang-undang?"

Lebih parah lagi ketika saya SD. Hampir setiap hari saya pulang dalam keadaan menangis. Ada saja yang menjahili saya. Ketika saya SD-SMP, bullying berupa mengolok-olok nama orang tua sangat populer. Kedengarannya sepele, tapi hanya menyebut nama orang tua bisa berujung perkelahian. Seperti yang saya alami. Seorang teman laki-laki tiba-tiba mengolok-olok nama orang tua saya. Tak mau kalah, saya pun menyebut nama orang tuanya. Adu mulut yang kami alami berubah menjadi perkelahian. Saya jelas kalah.

Adapula cerita seorang kawan. Dia tampak tak pernah ambil pusing ketika dibully teman-temannya. Dia selalu terlihat santai dan tersenyum menanggapi bully-an. Teman-temannya pun semakin gemas melihat dia yang tak pernah marah ketika dijadikan bahan candaan. Jenis bully yang dia alami biasanya berupa body shaming atau mengejek bentuk tubuh.

Tapi siapa sangka, sosoknya yang terkenal kalem saat itu berubah drastis. Mungkin karena sudah lelah menjadi bahan ejekan. Dia marah dan menangis tersedu-sedu. Anehnya, dia malah melampiaskan kekesalan dan kemarahannya kepada sebuah batu. Ia memprotes kenapa dirinya selalu menjadi korban bullying.

Pelaku bullying seringkali tak mempedulikan lagi perasaan orang lain, mereka anggap hanya sebuah candaan. Bahkan, label "dilarang baper (bawa perasaan)" seakan semakin menghalalkan bullying. Jika ada yang tersinggung, maka serempak akan menyebut orang tersebut terlalu baper dan nggak asik. Becanda dan dilarang baper kini tampaknya menjadi satu paket yang tak bisa dipisahkan.

Komnas HAM menegaskan bullying mempunyai dampak negatif, misalnya dapat menimbulkan trauma maupun tekanan psikologis. Namun, selama ini korban bullying cenderung diam karena tindakan ini masih dalam ranah abu-abu. Dari data Komnas HAM, sebanyak 80 persen pelajar mengalami kekerasan di sekolah, baik secara verbal maupun fisik. Kasus lain yang mendukung angka tersebut yakni tindak kekerasan, pelecehan, serta tawuran pelajar.

Bullying, menurut Komnas HAM, merupakan tindahkan merendahkan martabat pada anak secara psikis dan memiliki tingkatan hukum bervariasi. Langkah hukum baru akan dilakukan ketika terjadi kekerasan fisik. Namun faktanya, belum banyak aturan hukum yang mengaturnya. Kasus hukum tersebut dimasukkan dalam ranah etika dan moral.

Belakangan, bullying berupa kekerasan fisik semakin marak. Terutama saat pelaksanaan masa orientasi siswa baru, Ospek, atau pendidikan dan pelatihan yang dilakukan institusi pendidikan. Pelaku bullying biasanya berasal dari senior. Alih-alih melatih mental "anak baru", tindakan mereka justru seringkali membahayakan hingga merenggut nyawa korban.

Oleh: Laila/ KPI 3

1 komentar:

avatar
Agus Arifin Mustofa delete 22 Januari 2020 pukul 07.38

Apakah yg disebut bully ada damapak positifnya?

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post