Lumajang - Membangun Pondok Pesantren di sekitar pemukiman masyarakat, sangat memiliki resiko yang besar. Dalam artian, pondok pesantren harus bisa menerima apapun respon dari masyarakat sekitar, baik itu berupa pujian maupun hujatan.
Salah satunya ialah Pondok Pesantren Kyai Syarifuddin Wonorejo-Lumajang, dimana pondok ini berdiri di tengah-tengah pemukiman warga. Awalnya para warga senang dengan didirikannya pondok tersebut, karena mereka bisa menjadikan pondok pesantren sebagai target pemasaran atau tempat pencaharian mata uang, yaitu dengan cara berdagang di sekitar pondok.
Seiring berkembangnya zaman, pondok pesantren mengubah sistem jual beli santri, yaitu dengan menghapus pemakaian uang cash dan digantikan dengan kartu E-Money atau E-Syarif. Diadakannya sistem ini, untuk menghindari banyaknya santri yang kehilangan uang, kemudian untuk mencegah para santri supaya tidak terlalu boros. Dan dengan adanya sistem ini, timbul suatu konflik, yakni warga sekitar tidak bisa berdagang lagi di sekitar pondok pesantren dan artinya mereka tidak punya mata pencaharian uang lagi. Secara otomatis mereka tidak akan diam begitu saja, alhasil mereka berontak atau demo ke pihak pondok pesantren.
Pada akhirnya ketua yayasan dan orang-orang yang berperan penting dalam pembuatan E-Money atau E-Syarif langsung turun tangan untuk bersosialisasi kepada masyarakat sekitar. Yang pertama dengan cara mengumpulkan semua warga yang berdagang di sekitar pondok, guna menyampaikan kebijakan dan mencari jalan keluarnya. Kedua hasil keputusan rapat ialah, warga diperbolehkan berdagang dengan syarat dititipkan per asrama, dengan waktu atau hari yang sudah ditentukan, berbagi hasil dengan pondok pesantren dan uang hasil dagangan hanya bisa dicairkan selama 2 minggu sekali.
Penulis : Innama Marisa / KPI 22
Editor : Devisi keilmuan
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon