Berbicara soal budaya, Indoneaia beragam suku budaya, termasuk di desaku. Aku tinggal di pedalaman Jember. Jika dilihat dalam peta Jawa Timur terletak di bagian paling selatan, disana pula kalian dapat melihat dekatnya pulau Nusa Barong dengan desa kami yang hanya dipisahkan oleh laut.
Bisa dibayangkan desaku ini cukup dekat dengan laut, suara ombaknya saja terdengar hampir setiap hari, tiap senja maupun fajar. Pantai Selatan begitu katanya, terkenal dengan ombak tinggi dan memakan korban jiwa. Lusa pada tanggal 21 Januari 2019 ditemukan mayat perempuan, penduduk asli Lumajang.
(Jadi Budaya desamu menyeramkan, ya?) Oh tidak, ini hanya cerita saja. Untuk budaya di sini sebenarnya sama seperti masyarakat jawa lainnya, dari pernikahan, upacara kematian, sampai piton-piton (syukuran hamil ke 7 bulan).
Yang memiliki nilai positif dari masyarakat desaku terletak pada kebiasaan mereka yang berbagi dan guyub. Berbagi apa? Berbagi sesuatu yang apabila dibuang akan mubadzir, berbagi kebahagiaan, berbagi makanan atau apa saja yang menurut mereka patut dibagi.
Misalnya ada tetangga yang sedang mengadakan acara lamaran untuk anaknya, makanan yang dibawa calon dibagikan kepada tetangga-tetangga maupun teman dekat. Jadi kita dapat merasakan kebahagiaan keluarga yang berketempatan.
Misal selanjutnya, ketika suami-suami mereka pergi memancing dan mendapat ikan yang lumayan banyak, tetangga pun dapat hasil tangkapannya juga, meski cuma tiga ekor ikan. Hal seperti ini dilakukan bergantian, siapa yang mendapat rezeki, dia berhak memberi semampunya.
Sebetulnya saling memberi ini bukan hal yang istimewa, tapi termasuk kebiasaan amat terpuji dan jauh dari hal-hal klenik yang patut diacungi jempol. Kebiasaan yang turun temurun tanpa kesengajaan, terjadi tanpa rencana, menjadikan para tetangga guyub, saling bantu dan tentunya kekeluargaan yang bahkan lebih hangat dari keluarga sedarah.
Memberi disini tanpa memandang suku, agama atau kedudukan. Yang penting memberi saja, menurut mereka bahagia itu bukan karena kaya, tapi dari kebijaksanaan dan ringan tangan.
Semoga selalu seperti ini hingga jaman nanti!
Oleh : Reni NH/KPI3
Bisa dibayangkan desaku ini cukup dekat dengan laut, suara ombaknya saja terdengar hampir setiap hari, tiap senja maupun fajar. Pantai Selatan begitu katanya, terkenal dengan ombak tinggi dan memakan korban jiwa. Lusa pada tanggal 21 Januari 2019 ditemukan mayat perempuan, penduduk asli Lumajang.
(Jadi Budaya desamu menyeramkan, ya?) Oh tidak, ini hanya cerita saja. Untuk budaya di sini sebenarnya sama seperti masyarakat jawa lainnya, dari pernikahan, upacara kematian, sampai piton-piton (syukuran hamil ke 7 bulan).
Yang memiliki nilai positif dari masyarakat desaku terletak pada kebiasaan mereka yang berbagi dan guyub. Berbagi apa? Berbagi sesuatu yang apabila dibuang akan mubadzir, berbagi kebahagiaan, berbagi makanan atau apa saja yang menurut mereka patut dibagi.
Misalnya ada tetangga yang sedang mengadakan acara lamaran untuk anaknya, makanan yang dibawa calon dibagikan kepada tetangga-tetangga maupun teman dekat. Jadi kita dapat merasakan kebahagiaan keluarga yang berketempatan.
Misal selanjutnya, ketika suami-suami mereka pergi memancing dan mendapat ikan yang lumayan banyak, tetangga pun dapat hasil tangkapannya juga, meski cuma tiga ekor ikan. Hal seperti ini dilakukan bergantian, siapa yang mendapat rezeki, dia berhak memberi semampunya.
Sebetulnya saling memberi ini bukan hal yang istimewa, tapi termasuk kebiasaan amat terpuji dan jauh dari hal-hal klenik yang patut diacungi jempol. Kebiasaan yang turun temurun tanpa kesengajaan, terjadi tanpa rencana, menjadikan para tetangga guyub, saling bantu dan tentunya kekeluargaan yang bahkan lebih hangat dari keluarga sedarah.
Memberi disini tanpa memandang suku, agama atau kedudukan. Yang penting memberi saja, menurut mereka bahagia itu bukan karena kaya, tapi dari kebijaksanaan dan ringan tangan.
Semoga selalu seperti ini hingga jaman nanti!
Oleh : Reni NH/KPI3
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon