10 Desember 2019

author photo

Pict By: kartunhijrah.id


Nampaknya tren Hijrah selalu menarik untuk dibahas. Baik dari segi mana pun, Hijrah memiliki daya pikatnya sendiri. Berbicara tentang hijrah, sedikit banyak juga menyinggung tentang soimbol-simbol Islam yang seolah menjadi pendorong hijrah.

Beberapa tahun yang lalu, masyarakat sempat digegerkan dengan sebuah brand kerudung yang memiliki sertifikasi Halal. Di mana yang umum diketahui label Halal disematkan pada sebuah produk yang melalui tahap proses pencernaan, yakni makanan, minuman dan obat-obatan.
Sekilas, hal tersebut nampak kurang wajar, namun tidak sedikit masyarakat yang menyambut baik, karena dengan adanya label Halal tersebut masyarakat bisa jadi lebih tenang untuk menggunakannya, karena tidak perlu memikirkan keraguan status produk. Namun, apa kabar dengan kerudung yang kita gunakan selama ini, tidak ada lebel Halal pun, apakah berarti Haram? Apakah bahan-bahan yang digunakan berasal dari bahan Haram? Atau bisa jadi Syubhat?

Mengenyampingkan bahan kerudung yang saat ini kita pakai, mari kita melihat bagaimana fenomena hijrah yang berkembang di negara kita. Media adalah salah satu perantara yang dapat memengaruhi laju eksistensi fenomena. Karena terlepas bagaimana media sebagai penyaji informasi dan berita kepada masyarakat, media juga merupakan kepemilikan independen yang melaju sesuai kehendak sang pemilik. Tentu dengan fenomena hijrah yang semakin banyak dibicarakan, membuka peluang bisnis lebih lebar bagi para empu media.
Hal ini bisa dilakukan dengan mencipta berbagai program yang menyinggung tentang hijrah. Hal tersebut sejalan pula dengan semakin menjamurnya ustadz-ustadzah dadakan yang berlatar belakang aktor atau aktris yang baru saja mengalami proes hijrah.

Drama hijrah yang dijual ke mana-mana dengan dalih menginspirasi banyak orang nampaknya cukup berhasil. Banyak masyarakat yang sangat terinsipirasi dengan cerita hijrah aktor atau aktris ketimbang dengan ceramah atau pidato yang dilakukan oleh para Kyai yang sudah jelas sanad keilmuannya. Hal tersebut juga yang mengakibatkan gegernya seorang ustadzah di salah satu stasiun televisi yang dikritik akibat salah menuliskan dalil. Ah, bagaimana? Lucu bukan? Ibaratnya kita belajar sepeda pada orang yang baru bisa bersepeda tiga hari yang lalu. Belum benar-benar bisa dan belum mengerti strateginya. Seharusnya kemampuannya masih dipertanyakan, tapi mengapa dengan begitu polosnya mengikuti dan merasa apa yang mereka lakukan adalah benar? Lain kali, mengajinya ke ulama’ yang sanadnya terjamin saja ya!

Selain dengan media masaa, term Hijrah juga banyak dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas yang mulai merebak di berbagai daerah. Mereka berlomba-lomba menggaet anggota baru untuk dibimbing kehijrahannya. Tak jarang, mereka memanfaatkan ketidaktahuan anggota baru tentang Islam untuk mengambil keuntungan yang tersistem. Sebut saja salah satunya aalah komunitas Indonesia Tanpa Pacaran (ITP). Komunitas yang memiliki lebih dari satu juta followers di Instagram ini nampaknya tak kenal lelah untuk mengajak para generasi millenial bergabung dengan komunitasnya. Dengan membayar 198.000, para calon anggota mendapatkan fasilitas kartu member, sebuah buku karya pendiri ITP, La Ode Munafar, gantungan kunci dan stiker. Dan tentu saja dapat masuk dalam grup WA, di mana antara perempuan dan laki-laki dipisah.

Di dalam grup WA tersebut, para anggota dapat bertukar cerita tentang pengalaman hijrah. Selain itu, pada setiap Selasa dan Jum’at Admin membagikan sebuah meme lengkap dengan artikelnya, dan pada setiap Selasa ada kajian Live Streaming di fb khusus yang diisi langsung oleh salah satu penulis ITP, Adjih Mubarok, itu pun jarang sekali, tidak rutin setiap Selasat. Selama kurang lebih lima bulan bergabung di grup WA ITP ini, saya benar-benar mengamati aktivitas di dalamnya. Tentu saya tidak menjadi anggota pasif yang hanya menyimak obrolan anggota lain, terkadang juga saya berusaha berkomunikasi layaknya anggota lain. Dari pengamatan yang saya lakukan, saya mencoba membandingkan unggahan ITP dalam grup WA dengan Instagram dan Facebook milik ITP. Nampaknya, Instagram dan Facebook lebih aktif dalam pengunggahan, dari pada grup WA nya sendiri. Lalu apa bedanya yang membayar untuk masuk grup WA dengan mereka yang bebas mengamati postingan ITP di Instagram dan Facebook? Bukankah dengan begitu akan jadi sia-sia apa yang dibayarkan anggota untuk sekadar dapat pengakuan sebagai anggota resmi ITP? Jadi, jangan mudah terbuai rayu komunitas Hijrah!

Tidak hanya program televisi dan komunitas hijrah, tayangan iklan di televisi pun juga sangat paham membaca situasi. Belakangan, lebih banyak lagi iklan-iklan yang membawa simbol-simbol agama Islam. Pangsa pasar mereka jelas, yaitu Muslim-Muslimah di Indonesia. Benar saja, bukannya Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam? Lantas, mencipta produk yang sesuai dengan nilai-nilai Islam akan lebih bayak diminati oleh masyarakatnya. Sesederhana itu nampaknya.

Salah satunya iklan shampo. Jika sejak dahulu kala iklan shampo menampilkan brand ambassador dengan memperlihatkan rambut indah lebat nan mengkilau. Saat ini, iklan shampo berani mengambil langkah untuk menampilkan brand ambassador berhijab. Begitu pula dengan nama shamponya, jadi memiliki tambahan Shampo Hijab, menarik sekali. Tidak hanya itu, kini beberapa Shampo Hijab bahkan telah mengantongi sertifikasi Halal. Yang menjadi brand ambassador siapa? Tentunya para aktris cantik yang berhijab nan enerjik.

Selain produk shampo, masih banyak lagi produk iklan lainnya yang lebih menekankan label Halal dalam setiap iklannya. Hal tersebut seolah mengatakan bahwa dengan memakai produk yang berlabel Halal maka ke-Islaman-mu sudah terjamin. Padahal, kita pun tidak tahu yang sebenarnya. Barangkali dalam pengelolaan keuangan perusahaannya ada yang tak sesuai Syariat Islam. Atau, dalam aspek ketenagakerjaannya juga tak sesuai Syari’at Islam. Siapa yang tau?

Terkahir, iklan yang sangat menggelikan adalah iklan yang menayangkan tentang produk pasta gigi bersiwak. Iklan ini menggunakan tagline “Ngerasa ketemu yang bener”. Selain itu, juga menggunakan brand ambassador pasangan suami istri artis yang juga mengalami proses hijrah. Lalu pertanyaannya, apakah pasta gigi yang tak bersiwak bukan pasta gigi yang benar? Jadi, sudah gantikah pasta gigimu?

Oleh: Zahrotul Farodis Diana/ Alumni KPI 2019 

This post have 2 komentar

avatar
Laila Humairooh delete 17 Desember 2019 pukul 06.47

Guhhh, memang menggelitik ya perihal iklan pasta gigi itu.👏

Reply
avatar
Tsaniah delete 17 Desember 2019 pukul 14.47

Baca ini, inget sama perjuangan selama skripsi. Jadi rindu buk Fahma juga.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post